Theresia Ratih Sawitridjati

Masih Penasaran di Jalur Rajamandala

Saya yang nyari-nyari tapi malah adik saya yang diikuti

Rabu, 24 Februari 2021
Rabu, 24 Februari 2021
ratih_2.jpeg

Tiga tahun berturut-turut ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan BNI-ITB Ultra Marathon, baik sebagai peserta maupun panitia, banyak pengalaman tak terlupakan yang dirasakan oleh Theresia Ratih Sawitridjati atau yang akrab disapa Ratih.

Sebagai peserta BNI-ITB Ultra Marathon 2017, Ratih mengatakan awalnya tidak mudah mencari orang yang mau lari sejauh 10K karena mereka rata-rata takut lari malam hari serta di jalan raya lalu ada tanjakan dan turunan pula. Dengan susah payah akhirnya Ratih pun bisa mengumpulkan 16 orang pelari yang menjadi anggota di team angkatan 89.

“Salah satu momen yang tidak terlupakan itu memang di BNI-ITB UM 2017. Waktu saya jadi kapten dan momen yang paling diingat itu susahnya mencari teman dan memantau teman satu tim,” ujar Ratih.

Diakui Ratih, BNI-ITB Ultra Marathon itu sebenarnya bukanlah lomba marathon pertama yang diikutinya. Akan tetapi ITB UM ini disebutkannya sangat berbeda dengan marathon lainnya karena melibatkan lebih dari satu orang dalam sebuah tim. Hal itulah yang diakui Ratih membuatnya dihantui rasa degdegan selama UM karena pada saat itu peserta tidak tahu kapan rekan-rekannya akan tiba di pos yang sudah ditentukan dan pukul berapa mereka mulai start berlari.

“Biasanya di lomba marathon itu kita tahu jam berapa kita akan start tapi di UM ITB ini kita tidak tahu kapan akan start karena menunggu teman pelari sebelumnya. Itu bikin degdegan, kita mau tidur dulu sambil menunggu pun tidak bisa karena tegang, Tambah degdegan lagi kalau teman kita itu tidak ada kabarnya. Itu menegangkan untuk pelari setelahnya,” kenang Ratih.

Memasuki penyelenggaraan tahun kedua, Ratih mulai memberanikan diri turun di Relay2 170K atau masing-masing pelari harus menempuh 85K. Sayangnya, ditahun itu dia tidak bisa mendapatkan medali karena terkena cut-off time (COT) di KM 42.

“Total waktu yang harus ditempuh itu 32 jam, jadi saya pikir kalau dibagi dua saya punya jatah 8 jam untuk setiap cek poin. Sehingga waktu itu saya sempetkan untuk tidur dulu di depan sebuah warung selama setengah jam. Saat itu saya sampai cek poin pertama dengan waktu 7 jam, saya pikir saya masih aman karena punya sisa waktu satu jam. Tapi ternyata saya COT, karena harusnya 6 jam. Karena salah perhitungan itu saya tidak bisa melanjutkannya,itu bikin saya patah hati. Tapi teman satu tim saya tetap bisa lanjut, jadi cuma dia yang punya medali ITB Ultra Marathon 2018,” bebernya.

Pengalaman menarik lain pun kembali dirasakan Ratih pada tahun ketiga keikutsertaanya di BNI ITB Ultra Marathon 2019. Pada tahun tersebut selain menjadi pelari di dua tim,  dia pun turut membantu dalam kepanitaan di bagian support. Bukan tanpa alasan nama Ratih ada dalam dua tim berbeda, “Awalnya dia memang tidak terdaftar sebagai peserta. Namun mendekati hari H, ada satu teman yang tidak bisa ikut karena ada pekerjaan yang mendadak. Sedangkan satu teman lainnya yang berada di grup berbeda, dua hari menjelang UM sakit. Tidak bisa mencari pelari dalam waktu singkat,” katanya.

Dalam tim pertama Ratih turun sebagai pelari pertama dengan jarak lari 25K. Sebagai pelari pertama dia memulai start pada pukul 22.00 malam  dengan  diiringi riuh rendah dan kehebohan. Dilepas di pusat kota yang masih terang bendera, membuat perjalanannya berlangsung tanpa kendala apapun. Kondisi berbeda terjadi saat di tim keduanya. Memulai start di Mesjid Rajamandala pada pukul 22.00 WIB keesokan harinya,, suasananya justru bertolak belakang.

“Di situ gelap dan sepi, saya benar-benar lari sendirian di situ, beda banget sama Jakarta. Apalagi kata orang di situ kan angker, serem. Saya waktu itu antara pengen lihat tapi juga serem. Waktu itu ada motor yang mendampingi tapi saya suruh duluan aja karena saya enggak biasa lari didampingin seperti itu. Akhirnya saya lari sendirian di tempat gelap dan cuma mengandalkan lampu dikepala saya. Banyak yang bilang disitu suka ada penampakan putih, saya antara pengen tahu dan takut mulai lihat sekeliling tapi tidak apa-apa,” bebernya.

“Tapi dapat cerita dari adik saya yang juga ikut lari dibelakang saya, saat melewati tempat itu dia merasa ada orang lari dibelakang dia. Tapi setelah dia sampai finis tidak ada orang setelah dia. Itu yang lucu, saya yang nyari-nyari tapi malah adik saya yang diikuti. Beda-beda pengalaman di tempat itu, tapi saya senang disitu. Kalau ada kesempatan lagi, saya mau kok ditempatkan di jalur itu lagi,” tambah Ratih sambil tertawa.*

Share
Comments