Pandemi Covid-19 yang terjadi secara global sangat berdampak terhadap berbagai sisi kehidupan, salah satunya dalam penyelenggaraan tahunan BNI ITB Ultra Marathon. Mengambil moment ulang tahun ITB yang ke-100 tahun, mau tidak mau BNI ITB Ultra Marathon harus tetap digelar. Akhirnya, penyelenggaraan lomba lari Ultra Marathon itu pun di gelar secara virtual, dengan menggunakan aplikasi Strava.
Mengingat tidak semua peserta merupakan seorang pelari, tentunya tidak semua bisa mengoperasikan strava. Itu pula yang terjadi di team G3-ITB70. Bertindak sebagai kapten team, Prof. Dr. Ir. S. Hendriatiningsih, MS., mengalami pengalaman menarik tentang timnya sehingga tidak bisa dilupakannya.
Pada BNI ITB Virtual Ultra Marathon 2020 itu dia turun membawa bendera G3-ITB70, lima anggota timnya merupakan orang yang baru ikut ITB Ultra Marathon. Secara persiapan, disebutkan Prof. Hendriati, rekan-rekannya itu terbilang sudah siap karena sebelumnya sudah mempersiapkan dirinya dengan berlatih.
Masalahnya muncul karena sebagai alumni angkatan 70 yang terbilang sudah tua membuat rekan-rekannya itu gaptek terhadap yang namanya strava. Alhasil jauh sebelum Ultra Marathon mulai, anggota timnya mulai diperkenalkan dengan teknologi tersebut. “Masalahnya angkatan 70 itu sudah tua, banyak yang gaptek, Jadi belajar strava aja setengah mati,” katanya.
Hal-hal lucu pun terjadi saat pelaksanaan ultra marathon yang digelar secara virtual itu. Disampaikanya, saat pelaksaan BNI ITB Virtual Ultra Marathon ada event sama yang berlangsung yaitu Universitas Indonesia (UI) Ultra Marathon 7K. Bagi para runners tentu saja event itu tidak ingin terlewatkan juga. Alhasil, beberapa orang anggota tim G3-ITB70 termasuk dirinya turut mendaftar di UI Ultra Marathon karena dua event tersebut bisa dilakukan dalam waktu bersamaan. Menurut Prof. Hendriati, disitulah mulai muncul hal-hal lucu yang dialami timnya.
“Saya kan sebagai kapten tugasnya menerima laporan hasil tempuh lari rekan-rekan. Jadi saat itu ada rekan saya yang ikut UI ultra marathon juga, mengirimkan hasil strava yang baru menunjukkan 7K. Saya sempat kontak dia dan menanyakan kenapa hanya 7K tapi dia tidak jawab. Karena tidak ada respon akhirnya saya masukkan saja hasil tersebut dengan pertimbangan di laporan itu ada tulisan edit, jadi nanti bisa di edit. Ternyata dia itu salah mengirimkan, namun laporan yang sudah dimasukkan ternyata tidak bisa diedit lagi, jadi teman saya itu kena denda dan harus berlari lari 10 K pada sore harinya,” kenang alumni Teknik Geodesi dan Geomatika ITB angkatan 70 ini.
Tidak cuma itu, diakui Dosen ITB ini, peringkat timnya terus merosot karena ada kesalahan yang dilakukan rekan-rekannya yang lain. Dikisahkannya, ada satu rekannya yang kena denda karena jarak tempuh yang disetorkan tidak sesuai dengan ketentuan. Disebutkannya hal itu terjadi karena rekannya itu menggunakan Garmin bukan Strava sehingga perhitungannya berbeda.
“Berdasarkan Garmin yang dia pakai dia sudah menempuh 10 K, tapi berdasarkan penghitungan menggunakan Strava teman saya ini baru menempuh sembilan koma sekian kilometer jadi dia kena denda selama 3 menit,” katanya.
Menurut Prof. Hendriati, rangking tim G3-ITB70 terus merosot ketika satu pemain baru lainnya mengirimkan hasil strava melebihi dari yang sudah ditentukan. Seharusnya setiap anggota tim hanya mengirimkan jarak lari 10 K dengan maksimal waktu tempuh selama 2 jam. Akan tetapi satu anggota barunya itu mengirimkan hasil strava dengan penghitungan jam selama 6 jam.
“Jadi sebenarnya dia sudah menempuh jarak 10 K dengan waktu kurang lebih dua jam. Tapi dia lupa mematikan strava-nya. Sehingga saat dimatikan waktunya sudah 6 jam. Jadi dia itu sudah sempat makan dulu, itu dulu ini dulu, baru inget mematikan stravanya. Melorot lagilah rangking tim kita,” beber Prof. Hendriati sambil tertawa.*