UNIK dan ramai. Dua kata itu tanpa ragu diucapkan pelari kawakan ultra marathon Indonesia, Eni Rosita, saat menanggapi penyelenggaraan BNI-ITB Ultra Marathon. Bagi juara tiga kali berturut-turut kategori individu putri BNI-ITB Ultra Marathon 2017, 2018, 2019 tersebut, BNI-ITB Ultra Marathon memiliki keunikan tersendiri yang tidak dipunyai oleh lomba sejenis lainnya. Menurut perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah ini, hal pertama yang mencuri perhatiannya adalah jalur yang dilalui dalam BNI-ITB Ultra Marathon.
“Lintasannya berbeda karena dari awal sampai Padalarang rutenya menanjak terus. Baru dari Padalarang sampai Bandung datar. Kalau lomba sejenis di Jakarta biasanya lintasannya flat, datar. Di Sumbawa juga relatif rata walaupun ada beberapa tanjakan. Kalau di BNI-ITB Ultra Marathon itu masuk Bogor sudah menanjak terus dan beda lagi tantangannya,” katanya.
Keunikan lain dari BNI-ITB Ultra Marathon adalah kemeriahannya. Ia mengaku, tak pernah kesepian selama menjalani lomba. Eni mengatakan, yang membuat ramai adalah para peserta kategori lomba relay yang diikuti oleh alumni ITB. Suasana seperti ini tak pernah dijumpai dalam lomba ultra marathon lain. “Biasanya lomba ultra marathon itu sepi. Sepanjang jalan kadang lari sendiri terus. Tidak demikian dengan BNI-ITB Ultra Marathon, di jalan ramai. Apalagi ketika di pos WS (water station), meriah. Banyak yang cheering juga, itu memberi semangat lebih dalam menjalani lomba,” kata peraih podium pertama Tambora Challenge 2017, 2018, dan 2019 dengan jarak tempuh 320 km ini.
Untuk itu, Alumni Teknik Sipil Universitas Indonesia ini merasa tak memiliki kekhawatiran berlebih saat melahap lintasan dari Jakarta menuju Bandung. Saat berlari tengah malam, sepanjang jalur yang dilewati selalu ramai. “Saya enggak terlalu waswas. Paling ketika sampai Padalarang pas tengah malam, truk yang lewatnya gede-gede,” ujar perempuan kelahiran 19 Oktober 1978 ini.
Eni bercerita, saat mengikuti lomba BNI-ITB Ultra Marathon ia hanya melakukan istirahat satu kali di sebuah kawasan di Cianjur. “Saya sekali istirahat di daerah Ciranjang yang ada masjid besarnya. Makan, ganti pakaian, lalu tidur selama 30 menitan karena hampir selama 24 jam terus berlari di jalan, ngantuk,” katanya.
Di BNI ITB Ultra Marathon 2017 yang menempuh jarak 170 km, Eni Rosita mencapai garis finis dengan catatan waktu 27 Jam 19 Menit. Sementara pada BNI-ITB Ultra Marathon 2019, ia melahap jarak tempuh 200 km dengan catatan waktu 32 jam 28 menit.
Eni absen pada gelaran BNI-ITB Ultra Marathon 2020 yang diselenggarakan secara virtual karena merebaknya wabah pandemi COVID-19. “Lebih seru lari bareng-bareng. Untuk tahun ini harapannya pandemi bisa cepat selesai, bisa balik ke normal lagi. Ada lagi BNI-ITB Ultra Marathon yang nonvirtual,” katanya.
Eni pun mengapresiasi pelaksanaan BNI-ITB Ultra Marathon yang dinilainya sudah baik. Ia pun mengakui bahwa panitia telah berpengalaman dan bekerja dengan profesional sehingga pelari merasa aman selama lomba. “Selama pelaksanaan BNI-ITB Ultra Marathon tak ada kendala yang signifikan. WS cukup, panitia helpful, informasi juga mudah didapatkan. Mungkin tahun lalu sempat ada kendala di timing, tapi pasti bisa diperbaiki oleh panitia. Selebihnya sudah oke. Saya harap keseruan dari teman-teman alumni ITB tetap ada seperti lomba sebelumnya,” tutur Eni.
Mengenai perkembangan ultra marathon di Indonesia, Eni mengatakan popularitasnya masih kalah oleh negara-negara luar. Menurutnya, berbeda dengan marathon, ultra marathon belum terlalu digemari di Indonesia. “Beberapa teman atlet mengatakan, salah satu faktor adalah karena hadiahnya yang ‘enggak ada’ atau terbilang kecil untuk lari sejauh itu. Agar lebih menarik minat teman-teman untuk bergabung, apresiasi terhadap pelari mungkin perlu ditingkatkan. Namun, saya juga mengerti bahwa ultra maraton biasanya sponsorhip-nya kurang, berbeda dengan marathon,” kata Eni.
Eni Rosita memulai berlari pada tahun 2013. Ia mengatakan, pada awalnya sama seperti pelari pemula lain, dimulai dengan 2 km, 5 km lalu 10 km, 21 km. Eni mulai aktif mengikuti lomba pada 2014 dengan berlari perdana di nomor ultra trail. “Bagi saya semua jarak sebenarnya sama. Cuma, saya lebih suka ultramaraton itu karena pesertanya tak terlalu banyak. Walaupun lebih capai, suasana kekeluargaan dapat, sama pelari lain jadi dekat. Tantangannya juga berbeda, berlari selama berhari-hari dengan segala tantangan yang ada,” ujarnya.
Bagi Eni, mengikuti lomba lari Lintas Sumbawa (Tambora Challenge) yang berjarak 320 km merupakan pengalaman yang paling mengesankan dan menantang. Untuk event luar negeri, pengalaman yang tidak bisa dilupakannya adalah mengikuti Ultra Trail du Mont Blanc di Prancis. Ia menuntaskan kategori tersulit dengan jarak 300 kilometer yaitu Petite Trotte à Léon (PTL) di ketinggian 26 km.
Sehari-hari ibu dua orang anak yang masih SMP dan SD ini bekerja sebagai konsultan konstruksi. Namun, dengan kondisi saat ini yang sedang pandemi, Eni mengakui bahwa usaha konstruksi juga sedang terpuruk. “Pekerjaan sih masih ada, tapi kebanyakan dilakukan di rumah, WFH,” ujarnya menutup pembicaraan.***
Eni Rosita
Lahir: 19 Oktober 1978
Pendidikan:
SD Negeri 2 Pemalang
SMP Negeri 2 Pemalang
SMA Negeri 1 Pemalang
Teknik Sipil Universitas Indonesia











