KISAH PARA PELARI ANGKATAN 70

Jumat, 26 Maret 2021
Jumat, 26 Maret 2021

Bambang W Sugondo (FT) – BWS/Narko

Sebetulnya sejak muda aku tak tertarik dengan maraton. Aku lebih suka voli dan gimnastik alias senam lantai. Pertengahan 2016, keponakanku cerita bahwa dia sedang mulai diet Keto yang dikombinasi dengan joging agar cepat turun berat badannya. Yang pertama tertarik adalah  putraku yang berat badannya 109 kg. Dalam tempo 3 bulan, bobotnya turun menjadi 86 kg. Tapi, aku masih belum tertarik juga.

Akhir Januari 2017, aku dan istriku, Ade, melakukan medical check up. Hasilku bagus,  tapi hasil Ade tidak. Dia terkena kanker payudara. Faktor pemicunya adalah ekstrogen yang diproduksi tubuh akibat obesitas, diabetes, dan hipertensi.

Dari tanya-tanya kanan kiri dan baca-baca di internet, ternyata obat yang paling cocok adalah diet Keto (less if not no carbo and sugar), yang semula memang dikembangkan untuk mengatasi diabetes. Alhamdulillah, Ade setuju untuk mengikuti program ini, sehingga sejak Maret 2017 aku rajin JJP bersama istri diselingi dengan joging. Tempat favorit Ade di sekitar Bali View. Itulah cerita awal aku jadi suka joging.

Begitu putra putriku tahu bahwa ibunya akan melakukan diet Keto dan JJP, mereka mendukung dan menyemangatiku untuk selalu mendampingi ibu mereka. Demikian juga dengan 3 menantu dan 8 cucu-cucuku, terutama 4 orang yang sudah remaja.

Aku sendiri yang menggemari olah raga langsung berdiskusi dengan putraku, Kites, yang sudah lebih dulu melakukan diet Keto dan joging, tentang bagaimana memulai latihan. Intinya, memang kita harus berlatih secara bertahap. Trek yang disarankan Kites adalah jalur yang mengelilingi Situ Gintung, danau di daerah Cireundeu. Panjang jalur tersebut 4,5 km.

Di hari pertama mulai latihan, aku hanya sanggup lari tak lebih dari 500 m. Untuk mengelilingi danau, aku hanya kuat  lari 5 kali dan selebihnya jalan kaki. Malamnya, seluruh badanku terasa sakit semua. Tapi, aku tahu bahwa badan dapat mengingat aktivitas baru kita. Dan supaya cepat diingat, kita harus upayakan latihan serutin mungkin. Jadi aku bertekad untuk jalan dan lari lagi besok paginya. Hasilnya? Masih sama dengan hari pertama.

Sepuluh hari berikutnya, untuk pertama kali aku mampu lari mengelilingi danau tanpa berhenti. Bangga sekali rasanya. Waktunya hampir 50 menit. Karena penasaran, aku browsing tentang kecepatan. Ternyata jalan kaki cepat saja bisa 10 menit/km. Sedangkan aku? Luar biasa pelannya, yaitu 11,1 menit/km. Maka, berikutnya, aku pasang target 40 menit atau 8,9 menit harus bisa dicapai dalam waktu seminggu. Target terpenuhi tanpa halangan, tapi hambatannya adalah rasa malas setelah JJP 40 menit dengan Ade.

Kebetulan di harian Kompas ada tulisan mengenai  kecepatan pelari maraton rata-rata 7–8 menit/km. Akhirnya aku putuskan untuk menjaga kecepatan lariku keliling danau 8 menit/km atau total 36 menit. Rata-rata aku joging keliling danau 3–4 kali seminggu. Diet Keto plus jogging menyebabkan berat tubuhku turun drastis dari 72 kg menjadi 63 kg dalam waktu kurang dari 3 bulan. Akibatnya keluargaku protes keras karena aku kelihatan tua sekali. Maka, aku usahakan untuk menaikkan bobot badanku sampai 65–66 kg, yang sampai sekarang masih sering merosot ke 64 kg dengan mudah.

Sebenarnya aku khawatir kalau kekuatanku menurun, khususnya untuk bermain golf. Sebagai catatan, di grup golfku ada 9 golfer dan aku yang paling tua, dengan selisih umur terdekat 6 tahun. Salah satu tanding ketangkasan adalah adu jauh tee off. Secara rata-rata aku sulit dikalahkan. Ternyata diet Keto sama sekali tak berpengaruh pada kekuatanku. Bahkan tubuhku kian lentur sehingga semakin bagus dalam permainan golf.

Terlibat dalam Ultra Marathon

Bulan Juli lalu, aku diajak sahabatku, Susilo, untuk terlibat dalam tim relay BNI-ITB Ultra Marathon. Setiap orang akan kebagian lari sejauh 5 km. Tentu aku semangat banget untuk ikut karena sudah sering berlatih untuk jarak tersebut. Apalagi setelah aku tahu bahwa sahabatku ini adalah penggagas UM tersebut, melalui Yayasan Solidarity Forever.

Pertama kali aku berjumpa dengan para ‘pejuang’ ITB ‘70 adalah di CFD. Mereka adalah Sawing, Deks, Donie, Susilo, dan Ai. Karena Ai tinggal di daerah Gatsu, maka dia menunggu kami di kolong Semanggi. Kami berjalan kaki pulang pergi dengan total jarak 6 km, diteruskan dengan sarapan pecel Madiun kesukaan Susilo dan Sawing.

Selain kami, banyak teman Jakarta dan Bandung yang bersemangat ikut tim relay. Sampai suatu hari Susilo mengumumkan bahwa panitia telah memutuskan peserta relay terbanyak adalah 16 orang. Ini berarti jarak yang harus ditempuh tiap peserta 170 km dibagi 16. OMG!!!

Sebagain teman mengundurkan diri karena kondisi fisik tidak memungkinkan lari sejauh itu. Setelah Susilo menetapkan Iyal sebagai team manager, mulailah disusun siapa saja yang akan ambil bagian dan untuk etape mana. 

        

Agus Prawirasaputra (TA) – Agus

Aku mengawali perjalanan dari WS 8, Melrimba Garden, dengan perasaan waswas. Betapa tidak? Semua pelari ITB ‘70 sebelumku berhasil menyelesaikan etapenya. Aku tidak ingin menjadi pelari pertama yang gagal menjalankan tugas dan ini rupanya sangat membebani pikiranku.

Lalu aku ingat nasihat seorang teman yang merupakan pelari jarak jauh nasional, “Jangan biarkan pikiran-pikiran negatif memenuhi kepalamu selagi berlari. Itu hanya membuatmu bertambah stres. Ingat saja semua hal yang menyenangkan dan lucu.” Nasihat ini kutanamkan di hati sambil berlari. Yang pertama kuingat adalah kehebohan di setiap acara ngumpul dengan Geng Garels. Maka, aku pun berlari dan berjalan sambil bersenandung, “... Keep smiling, keep shining, knowing you can always count on me, for sure, that’s what friends are for...”

Rasanya lebih nyaman dan lebih ringan langkah kakiku dengan bernyanyi lirih sambil mengingat-ingat perilaku kocak dan gelo sobat-sobatku ini. Setiap melihat orang yang kukenal atau siapa pun mengarahkan kamera padaku di sepanjang jalan, aku ekspresikan kegembiraan ini dengan senyum. Kadang kutambah dengan gerakan tubuh berputar (lari sambil dangsah menurut Ningsih) atau dengan langkah menyamping seolah sedang maumerean (... ke kiri ke kiri, ke kanan, ke kanan...).

Tak terasa sudah sejam lebih perjalananku, berarti sekitar 8 km telah kutempuh dari 10,9 km yang menjadi etapeku. Tanpa diduga aku mengalami kram di bagian betis...

6^43’37.0”S 107^02’08.8”E

Dari titik koordinat ini ke WS 9 (Hotel Sanggabuana), aku cek di Google Map jaraknya 2,9 km. Aku tiba di titik ini (jembatan yang di dekatnya ada tanda ‘Batas Desa Sindang Jaya’) sekitar pukul 2 siang kurang beberapa menit, ketika tiba-tiba kakiku kram di bagian betis kanan dan menjalar sampai ke jari-jari kaki kanan. Tak lama kemudian, kaki kiri ikut-ikutan kram. Sambil menahan sakit, aku coba urut sebisanya. Kubentur-benturkan betisku ke palang besi jembatan. Lalu aku berdiri dan jongkok berulang kali. Kulakukan apa saja untuk mengurangi rasa sakit.

Di depan kulihat tanjakan terjal, sedangkan di belakangku turunan tajam yang baru kulewati. Tak terlihat marathoner lain atau pun mobil panitia yang lewat. Hanya beberapa mobil melintas jembatan dari kedua arah. Mungkin sekitar 5–10 menit, aku tak tahu pasti, sakitnya agak berkurang. Aku paksakan berjalan sampai di ujung tanjakan (aku lihat di Google Map jaraknya sekitar 400 m). Di sana aku menemukan meja panitia yang menyediakan air minum. Ada 2 petugas wanita berjaga. Salah satunya menawarkan minuman. Aku bertanya, “Ada obat gosok?” “Hanya ada minuman, Pak,” jawabnya. Tiba-tiba temannya menimpali, “Ada, Pak. Tunggu sebentar.” Ia berlari menuju salah satu mobil yang diparkir di situ, lalu tergopoh-gopoh kembali sambil membawa tas. Dari dalamnya dikeluarkan semprotan berbentuk tube, seperti yang kulihat di TV untuk mengobati atlet yang cedera saat bertanding. Srooot...sroot..., kusemprotkan ke bagian kakiku yang kram.

Setelah mengembalikan semprotan dan mengucapkan terima kasih, aku melanjutkan perjalanan. Kaki masih terasa sakit, tapi sudah jauh berkurang. Ketika melewati Pasar Cipanas, aku berjalan melewati emperan toko, bukan di jalan aspal, menghindari padatnya kendaraan umum dan orang yang lalu lalang. Lepas dari pasar, aku melewati Istana Cipanas, terus lagi dan bertemulah aku dengan BWS dan rombongan keluargaku.

Di depan mereka, aku berlagak tidak terjadi apa-apa. Aku minta minum, makanan kecil dan obat gosok, yang kuoleskan banyak-banyak di bagian betis dan sekitarnya. Sempat ha ha hi hi sebentar, foto-foto, lalu aku pun melanjutkan perjalanan dengan sedikit berlari (mumpung kaki sudah memungkinkan). Sampai akhirnya di kejauhan tampak papan bertuliskan Hotel Sanggabuana, tempat WS 9 yang merupakan tempat finis etapeku.

Mulailah aku lari, lupa semua rasa sakit, lupa kram kaki, lupa segala-galanya. Aku bisa, aku bisa, aku bisa. Kulihat di sana Donie bersiap-siap menyambut kedatanganku. Kami berpelukan sangat erat, lalu bersama menuju meja panitia.

Alhamdulillah Yaa Rabbi...

La hawla wa la quwatta illa billahi alliyil adzim...


Halaman:  12345678910
Share
Comments