KISAH PARA PELARI ANGKATAN 70

Jumat, 26 Maret 2021
Jumat, 26 Maret 2021

Iyus Ruswandi (PL) – Iyus

Penasaran memicu semangat

Bermula dari rasa penasaran yang timbul setelah beberapa kali melihat foto dan membaca posting-an di WhatsApp grup dari teman yang ikut lomba lari 10K. Setiap kali saya kagum. Luar biasa, dengan umur segitu masih bisa ikut lomba lari berkali-kali. Paling lama jedanya mungkin 2 bulan, sudah ada berita lari di sini, lari di sana. Bukan main staminanya. Itulah teman saya sejak SMA. Badannya kecil, tapi namanya besar: Melok Besari. Ia betul-betul membuat saya penasaran, mampu ikut lomba lari 10K hampir tiap bulan. Bahkan pernah ikut half marathon. Saya sendiri berusaha jalan pagi bersama istri hampir setiap hari. Tapi ya itulah, mencapai 5.000-an langkah atau setara dengan jarak tempuh 3–3,5 km rasanya sudah jauh dan kami pun menyudahi perjalanan kami. Jauh sekali bedanya dengan Melok yang sarapannya lari pagi minimal 7 km.

Ketika Da Iyal memberi kabar bahwa akan komba lari yang diikuti teman-teman ITB ‘70 dengan jarak tempuh masing-masing 5 sampai 10 km, saya mulai tertarik. Saya harus ikut nih, minimal yang 5 km. Masa sih enggak bisa? Lutut kanan saya memang sudah cedera. Urat ligamennya sudah putus sejak saya masih SMA. Dan ligamen yang putus tidak bisa pulih lagi. Ditambah belum lama ini lutut kanan saya terkilir dan bengkak. Untuk jalan saja tubuh sudah oleng, apalagi untuk berlari. Itulah yang membuat saya ragu pada kemampuan saya. Tapi, saya tetap akan mencoba.

Saya beli knee decker yang ada reinforced-nya. Saya mulai latihan jalan cepat. Dari semula hanya 3,5 km, bisa menjadi 5 km. Yang tadinya hanya jalan cepat, mulai dengan joging atau lari-lari kecil. Menurut Kang IU (yang juga pernah beberapa kali ikut lomba 10K), cara ini lebih efektif. Tiap dua atau 3 hari saya berlatih, dengan terus menambah porsi jarak.

Sementara berita-berita dari teman-teman sesama calon pelari dadakan juga terus terbaca di WhatsApp grup. Kadang bikin keder juga membaca hasil latihan teman yang jauh di atas pencapaian saya, seperti BWS yang pace-nya sudah di bawah 7 menit. Waduh, itu sih sudah ukuran atlet AG. Lalu ada Pras yang hanya jalan cepat, tapi pace-nya bisa mendekati 9 menit. Bagaimana caranya bisa mendekati kemampuan mereka, sedangkan pace saya masih sedikit di bawah 11 menit.

Pembicaraan di WhatsApp grup mengenai pembagian etape berkembang. Tidak ada lagi etape 5 km! Semua pelari harus mampu menempuh paling tidak 10 km. Hati saya keder lagi. Tapi no retreat, saya sudah memutuskan untuk ikut. Saya latihan terus, sampai 6 km, 7 km, dan akhirnya 10 km! Ternyata ketika slotting pembagian etape, saya mendapatkan etape yang panjangnya 12 km, dari Ciranjang ke Rajamandala. Walah, 10 km saja sudah terasa berat. Mampukah saya? Ya harus! Saya latihan terus, terus dan terus. Begitulah lahirnya pelari dadakan di umur 67 tahun ini.

Setelah bergiat berlatih selama 3 bulan, saya berhasil juga menuntaskan tugas saya sebagai pelari ke 14 dari tim Relay 16 ITB ‘70. Alhamdulillahirabbil’aalamiin, ternyata saya bisa berlari di bawah waktu 1 jam 40 menit yang merupakan target awal yang ditentukan Da Iyal.

Ada penggemar di Padalarang

Etape yang saya jalani adalah dari WS 13 di RM Rasa Sunda Citatah sampai ke WS 14 di gerbang Kota Baru Parahyangan. Empat puluh persen perjalanan yang tempuh atau sekitar 4,3 km pertama merupakan tanjakan dengan kemiringan 5%, bahkan ada yang sampai 8%. Selepas tanjakan baru sedikit menurun dan kemudian jalan rata serta lurus.

Di bagian yang datar ini saya mencoba mempertahankan pace hampir mendekati 9 menit/km. Walau cukup lelah, saya berusaha agar kecepatan saya tidak menurun. Ini untuk mengejar waktu karena selama di tanjakan, pace saya di atas 10 menit. Ada beberapa pelari lain juga bersama saya di jalur ini. Ada yang lebih cepat, ada yang lebih lambat. Tapi ada yang rasanya mengikuti terus di belakang saya. Terdengar dari bunyi langkahnya dan lampu sorotnya.

Pada saat lari dengan kecepatan konstan begitu, kalau tidak salah mendekati pertigaan jalan raya Padalarang, tahu-tahu dari pinggir jalan seperti ada yang memanggil nama saya. Kurang begitu jelas terdengar, tapi memotret saya juga. Wah, ada fan rupanya... Tapi, ah mungkin dia salah lihat. Rasanya saya tidak punya ‘peninggalan’ di sini. Saya lari terus, tapi melalui sudut mata saya sempat melihat sosok perempuan berhijab warna terang. Untung bukan putih, bisa saya lari terbirit-birit.

Sesampai di tempat finis di WS 14, bertemulah dengan yang mengekor di belakang saya, yaitu sepupu istri saya, alumni MS ‘84. Sementara yang memanggil dan memotret saya adalah istrinya. Padahal, saya sudah ge-er, mengira punya fan. Dia termasuk tim Relay 8 yang lari dari WS 12 ke WS 14. Pantesan dia tidak kelihatan menyusul saya karena waktu startnya sudah lebih dahulu.   


Halaman:  12345678910
Share
Comments